Kebanyakan investor pasti mengharapkan bahwa modal yang ditanamkan pada instrumen saham bisa menghasilkan pundi-pundi uang yang banyak. Keuntungan besar tersebut memang sudah sesuai dengan potensi resiko dari investasi saham yang pada umumnya lebih besar dari pada instrumen lainnya, seperti deposito, obligasi, reksadana dan lain-lain.
Akan tetapi terkadang investasi yang diharapkan bisa memberikan hasil optimal justru hasilnya minimal. Oleh karena itu banyak investor yang mencari alternatif untuk membeli saham tertentu yang bisa lebih besar tingkat pengembaliannya.
Saham dengan harga murah cenderung memiliki potensi profit yang jauh lebih besar daripada saham yang harganya sudah mahal. Misalnya saham perusahaan XYZ yang berada di level Rp. 200 perlembar saham, maka setiap kenaikan 10 poin berarti terjadi kenaikan sebesar 5%.
Artinya jika kita sebelumnya telah membeli saham perusahaan XYZ maka sekarang sudah mengantongi keuntungan sebesar 5%. Luar biasa tentunya karena jika kenaikan terjadi secara konsisten maka tidak menutup kemungkinan dalam beberapa bulan saja sudah bisa profit puluhan persen dari investasi tersebut.
Berbeda jika kita berinvestasi dengan membeli saham yang harganya berada di level atas, misalnya saham perusahaan ABC yang berada di angka Rp. 30.000 perlembar sahamnya. Maka kenaikan 100 poin pun hanya akan menambah pundi-pundi keuntungan sebesar 0,33%. Bayangkan jika itu terjadi pada saham perusahaan XYZ maka sudah bisa mengantongi profit 50%.
Oleh karena itu sebagian investor berfikir bahwa lebih menguntungkan jika membeli saham yang harganya masih murah. Namun yang sering dilupakan bahwa saham itu pergerakan harganya tidak hanya naik, melainkan terkadang turun juga. Sehingga jika harga sahamnya 100 rupiah maka jika harga melemah sebesar 100 rupiah itu artinya kerugian yang didapat sangat besar yaitu 50%.